JEMBER – Tren pengibaran Bendera One Piece menjelang HUT ke-80 RI ramai menjadi sorotan publik. Simbol dari anime Jepang itu dipakai sebagian anak muda untuk menyuarakan kritik sosial.
Pengamat politik Universitas Islam Negeri KH Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember, Ahmad Sirajuddi, menilai tren ini merupakan bagian dari pola komunikasi politik generasi Z yang lekat dengan budaya populer.
“Generasi Z lebih mudah terhubung dengan simbol-simbol pop culture untuk menyampaikan pesan politiknya,” ujarnya saat ditemui di kampus UIN KHAS Jember, Selasa (12/8/2025).
Ia menjelaskan, dalam tiga tahun terakhir, berbagai gerakan protes di Indonesia kerap dibalut simbol visual. Mulai dari Garuda biru, Garuda hitam, hingga salam Wakanda Forever.
“Setiap simbol punya makna emosional yang menguatkan rasa persatuan antarpendukung gerakan,” katanya.
Menurutnya, fenomena ini juga terjadi di negara lain. Misalnya, topeng Guy Fawkes dalam gerakan Occupy Wall Street atau salam tiga jari di demonstrasi Thailand.
“Bendera One Piece kini punya tafsir baru: kebebasan, keterbukaan, dan perlawanan terhadap ketidakadilan,” jelas dosen Manajemen Teknologi dan Adopsi Inovasi itu.
Ia menyebut teori encoding–decoding Stuart Hall relevan untuk memahami tren ini. Pesan politik dikemas lewat simbol yang akrab di mata target audiens, dalam hal ini anak muda.
“Dengan cara itu, aspirasi lebih mudah diterima karena dibalut cerita yang mereka sukai,” paparnya.
Selain sebagai ekspresi pop culture, simbol-simbol ini juga digunakan untuk menuntut reformasi, antikorupsi, penegakan HAM, dan menolak nepotisme di pemerintahan.
Menurut Sirajuddi, semua tuntutan tersebut tetap relevan hingga kini. Bahkan, bendera One Piece dinilai lebih lekat di hati generasi Z dibanding simbol-simbol sebelumnya.
“Penggunaan simbol seperti ini sah secara hukum, selama tidak melanggar aturan atau merendahkan simbol negara,” tegasnya.
Dari perspektif Islam, kata dia, kritik sosial dan politik termasuk bagian dari amar ma’ruf nahi munkar, yakni menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Ia juga menilai simbol fiksi dapat menjadi bahasa visual yang sarat nilai moral, bila disampaikan dengan bijak dan tanpa memicu perpecahan.
“Yang penting, niat, metode, dan tujuan penyampaian aspirasi selaras dengan Pancasila, kebinekaan, dan semangat nasionalisme,” tambahnya.
Meski demikian, ia mengingatkan adanya batas etika. Mengibarkan bendera One Piece sejajar dengan Merah Putih, apalagi di satu tiang, dianggap tidak pantas dan melanggar aturan.
“Bendera Merah Putih adalah simbol resmi negara. Tata cara pengibaran sudah diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2009,” tegasnya.
Menurutnya, persoalan bukan pada simbol One Piece, tetapi pada pelanggaran etika pengibaran bendera negara.
Ia mencontohkan aksi Ustad Felix Siauw di Bogor yang membawa bendera One Piece tanpa mengibarkannya sejajar dengan Merah Putih.
“Aksi itu masih etis karena tidak merendahkan simbol negara. Namun, kita harus selalu paham batas penggunaan simbol,” pungkasnya.